Budiman lahir di Desa Pahonjean, Kecamatan Majenang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah pada 10 Maret 1970. Menjalani masa kecil di Majenang dan kemudian pindah ke Kota Bogor Jawa Barat.
Kesadaran politik Budiman sudah mulai tumbuh saat bersekolah di SMPN 1 Bogor. Dia mulai mengenal tokoh-tokoh dunia seperti Bung Karno, Nasser, Mao Tse Tung, dan Nehru melalui buku-buku-buku milik kakeknya.
Lulus SMP, Budiman melanjutkan ke SMA Muhammadiyah I Yogyakarta (MUHI). Di sini minat Budiman kepada politik semakin besar. Dia sering mengikuti disuksi yang diadakan mahasiswa di Universitas Islam Indonesia (UII) maupun UGM. Karena sibuk diskusi, sekolah Budiman terbengkalai, akhirnya oleh orang tuanya, Budiman dipindah ke SMAN 5 Bogor.
Di SMAN 5 Bogor, Budiman tetap meneruskan hobinya dan membentuk kelomok diskusi. Atas kegiatannya ini, Budiman sempat dipanggil oleh Bakortanasda (Badan Koordinasi Stabilitas Keamanan Daerah) Bogor untuk dimintai keterangan. Budiman dilepas karena tidak terbukti melakukan pelanggaran.
Budian kemudian masuk ke Fakultas Ekonomi UGM. Di sini minat Budiman kepada pergerakan semakin tersalurkan.
Saat menjadi mahasiswa Budiman banyak mengikuti aksi-aksi mahasiswa. Dikutip dari buku Radikalisasi Pemuda, PRD melawan Tirani karya Miftahuddin yang diterbitkan Desantara, salah satu aksi dramatis yang diikuti Budiman adalah aksi di Jalan Kusumanegara Yogyakarta yang menyebabkan bentrok antara peserta aksi dengan aparat.
Aksi ini dilakukan untuk mendukung aktivis Bambang Isti Nugroho, Bambang Subono, dan Bonar Togor Naipospos yang diadili di PN Yogyakarta karena mendiskusikan dan menjual buku-buku karya Pramudya Ananta Toer.
Aksi damai yang berujung nerokan ini kemudian dikenal dengan “Peristiwa Kusumanegara Berdarah”.
Budiman semaki aktif dalam gerakan mahasiswa sehingga lagi-lagi kuliahnya terbengkalai.
Selama 4 tahun ia menjadi community organizer yang bertugas melakukan proses pemberdayaan politik, organisasi, dan ekonomi di kalangan petani dan buruh perkebunan di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Budiman di dalam melakukan kegiatannya sering secara gerilya karena tingginya resistensi dan tekanan dari pihak militer dan pemerintah.
Ketika Persatuan Rakyat Deokratik (PRD) dibentuk pada tahun 1994, Budiman masuk sebagai anggota. Kemudian tahun 1996 PRD berganti nama menjadi Partai Rakyat Demokratik dan Budiman Sudjatmiko menjadi ketua umum. PRD dideklarasikan pada 22 Juli 1996.
Pada 27 Juli 1996 terjadi peristiwa perebutan kantor DPP PDI di jalan Diponegoro Jakarta Pusat. Penyerbuan ini menjadi kerusuhan yang dikenal dengan Peristiwa Kudatuli.
Mengutip Wikipedia , peristiwa 27 Juli 1996, disebut sebagai Peristiwa Kudatuli (akronim dari Kerusuhan dua puluh tujuh Juli) atau Peristiwa Sabtu Kelabu (karena memang kejadian tersebut terjadi pada hari Sabtu), adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.
Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.
Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian memburu dan menjebloskan para aktivis PRD ke penjara. Budiman Sudjatmiko mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara.
Mendagri rezim orde baru Yogie S Memed, kemudian menerbitkan SK yang intinya menyebut Partai Rakyat Demokratik (PRD) beserta ormas afiliasinya sebagai partai terlarang. Para aktivis PRD dan underbownya, yakni Serikat Tani Nasional (STN), Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker), dan Sarekat Rakyat Indonesia (SRI), diburu
Budiman termasuk aktivis yang ditangkap dan kemudian divonis 13 tahun penjara. Budiman sempat menjalani hukuman di LP Cipinang.
Pada 10 Desember 1999 Presiden Abdrurrahman Wahid atau Gus Dur memberikan amnesti yang dengan demikian Budiman Sudjatmiko bebas secara hukum.
“Segera setelah keluar dari LP Cipinang tanggal 10 Desember 1999 berdasarkan amnesti Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Budiman kembali memimpin PRD,” tulis Miftahuddin dalam buku Radikalisasi Pemuda, PRD Melawan Tirani.
Dari website BudimanSudjatmiko.net, pada tahun 2002, Budiman memutuskan untuk meninggalkan PRD dan lebih tertarik untuk melanjutkan studinya.
Universitas Cambridge di Inggris menjadi kampus tujuan Budiman untuk menimba ilmu tentang hubungan internasional. Budiman menyandang gelar master hubungan internasional setelah sebelumnya merampungkan tesis yang mengupas masalah politik luar negeri China.
Dalam perjalanan politik Budiman selanjutnya, ia kemudian semakin dekat dengan PDI Perjuangan. Persinggungan Budiman Sujatmiko dengan PDI Perjuangan diawali ketika dia bersama 52 aktivis lainnya mendeklarasikan Relawan Pejuang Demokrasi (Repdem), 3 Februari 2004.
Budiman pernah menjadi anggota DPR RI Dapil Jawa Tengah VIII dua periode (2009 – 2014) melalui PDI Perjuangan.
Menjelang Pilpres2024, Budiman Sudjatmiko menyatakan mendukung Bacapres Partai Gerindra Prabowo Subianto. Budiman kemudian membentuk Relawan Prabowo Budiman Bersatu (Prabu) di Semarang pada Jumat, 18 Agustus 2023.
Riwayat Pendidikan
SMPN 1 Bogor
SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta (pindah)
SMAN 5 Bogor
Universitas gadjah mada, Fakultas Ekonomi (tidak selesai)
SOAS, Universitas London
Universitas Cambridge
Politik
Partai Rakyat Demokratik (1996–2001)
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (2004–2023)
Karir
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Masa jabatan 1 Oktober 2009 – 30 September 2019
Perolehan suara 96.830 (2009)
Perolehan suara 68.861 (2014)
Daerah pemilihan: Jawa Tengah VIII
Sumber:
Buku “Radikalisasi Pemuda, PRD Melawan Tirani” Miftahuddin, Penerbit Desantara 2004.
Wikipedia, Peristiwa Kudatuli
Budimansudjatmiko.net
One thought on “Budiman Sudjatmiko”